Sabtu, 26 Oktober 2013

Wewenang Relatif Dan Absolut

a.      Wewenang Relatif Dan Absolut
            Kata” kekuasaan” sering disebut “ kompetensi” yang berasal dari bahasa belanda “Competentie”, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan” Kewenangan” dan terkadang “kekuasaan”.
            Kekuasaan atau kewenangan peradilan kaitanya adalah dengan hokum acara, menyangkut  hal,yaitu: “ kekuasaan relative” dan “{kekuasaan absolute”.
            Kekuasaan relative di artikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu singkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan peradilan yang sama jenis dan sama tingkatan. Misalnya, antara peradilan negeri bogor dengan peradilan negeri subang penngadilan agama muara enim dan pengadilan agama batu raja.
            Pengadilan negeri bogor dan subang sama-sama lingkungan peradilan umum dan sama-sama peradilan tingkat pertama, sedangkan peradilan agama muara enim dan peradilan agama batu bara jenis yang sama-sama lingkungan peradilan agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.
            Pasal 4 ayat 1 UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama berbunyi :
peradilan agama berkedudukan di kota madya atau di ibu kota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten”. Pada penjelasan pasal 4 ayat 1 berbunyi : “ pada dasrnya tempat kedudukan peradilan agama ada di kodya atau kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.
            Tiap pengadilan agama mempunyai wilayah hokum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengucualian, mungkin lebih atau kurang, seperti kabupaten riau kepulauan terdapat empat buah peradilan agama, karna kondisi transportasi sulit.
            Guna mengetahui yurisdiksi relative agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau permohonan yakni kepengadilan agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan juga berhubungan dengan hah eksipsi terduga. Menurut teori umum hokum ajaran perdata peradilan umum(tentang tempat mengajukan gugatan), apabila penggugat mengajukan gugatannya kepengadilan negeri mana saja, diperbolehkan dan peradilan tersebut masing-masing boleh memriksa dan mengadili perkaranya sepanjang tidak ada asepsi(keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja orang (penggugat dan terdugat memilih untuk beperkara di muka pengadilan mana saja yang mereka sepakati). Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegasnya dimyatakan lain. Pengadilan negeri dalam hal ini boleh menerima pendaftaran perkara tersebut disamping boleh menolaknya. Namun dalam praktik, pengadilan negeri sedak semula sudah tidak berkenan menerima gugatan atau permohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran kepengadilan negeri mana seharusnya gugatan atau permohonan itu di ajukan.
            Ketentuan umum peradilan umum tersebut berlaku juga untuk peradilan agama sebagaimana ditunjuk oleh UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dimasa lalu sebelum peradilan agama mempunyai kekuasaan absolut yang seragam di seluruh indonesia (sebelum UU No.7 Tahun 1989) peradilan agama tidak dapat menerima ketentuan umum peradilan umum di atas, sebab suatu jenis perkara misalnya menjadi kekuasaan absolut peradilan agama di pulau sumatra belum tentu menjadi kekuasaan absolut pada peradilan agama di pulau jawa, seperti mengenai kewarisan.
            Mengenai kekuasaan absolut, yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, sebagai contoh :
            Pengadilan agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama islam, sedangkan selain yang selain islam menjadi kekuasaan peradilan umum. Pengadilan agama lah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak langsung beperkara kepengadilan tinggi agama atau di mahkamah agung.
            Jenis perkara yang menjadi kekuasaan peradilan agama ; pertama, tentang teperkawinan ; kedua, tentang warisan, wasiat dan hibbah; ketiga, tentang perkara waqaf dan sedekah.
Pasal 49
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memetus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama islam di bidang :
a.       Perkawinan
b.      Kewarisan
c.       Wasiat
d.      Hibbah
e.       Waqaf
f.        Zakat
g.       Infaq
h.       H sedekah ; dan
i.         Ekonomi syariah[1].
b.      Sejarah peradilan agama
1.      Ulama dan pejabat agama, dua tipe pemimpin islam memainkan peranan yang singkat penting dalam proses islamisasi di indonesia. Mereka mengaktualisasika kepemimpinannya melalui  pranata pendidikan dan pranata politiik. Ketika islam menajdi kekuatan politik, yang di tandai dengan pembunuhan dan perkembangan kesultanan islam yang memeintah, tetapi suatu hubungan simbiotik ulama-umara. Dan pejabat agama yang menjadi subordinasi dari pusat kekuasaan islam, merupakanpeletak dasar pertumbuhan dan perkembangan PADI.
2.      Pada masa kesulatanan islam, PADI tumbuh dan berkembang denagn corak yang beraneka ragam. Keanekaragaman itu meliputi posisinya dakam pusat kekuasaan, struktur dan cakupan kekuasaannya, dan sunber pengambilan hukum dan memutuskan perkara yang di ajukan kepadanya. Umumnya, cakupan kekuasaannya dalam bidang keperdataan, khususnya perkara perkawinan dan kewarisan. Sedangkan sumber pengambilan hukumny dari kitab-kitab fiqh terutama dari mazhab syafi’i.
3.      Perkemabangan PADI pada masa penjajahan belanda menagalami pasang surut. Hal itu sebagai akibat islam politiek dan politik hukum adat (adat-recbtspolitiek) yang di terapakan oleh pemerintah kolonial. Keputusan politik kolonial itu merupakan pemihakan dalam mengahdapi komflik antara elit adat denagn elit islam, yang berlanjut denagn masa pendudukan jepang. Ketika di lakukan reorganisasi badan peradilan di jawa dan madura pada tahun 1937, terjadi pembatasan pengadilan agama.
4.      Pada masa pendudukan tentara jepang, PADI tidak mengalami perkembangan yang cukup bearti. Namun demikian, pemerintah meliter ,emberi peluang yang sangat besar terhadap golongan islam yang mengalokasikan nilai-nilai islam di dalam kehidupan bernegara. Hal itu terakomodasi pada suatu rumusan yang dikenal dengan piagam jakatrta. Usaha yang memulihkan kembali kekuasaan pengadilan agamapun memperoleh kesempatan yang sangat besar, namun hasilnya adalah status Quo.
5.      Perkembangan PADI masa kemerdekaan, khususnya pada masa orde baru, sangat bearti ketika diundangkan dan diberlakukan UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 Tahun 1974, dan mencapai puncaknya ketika UU No.7 Tahun1989 diundangkan dan diberlakukan. UU Nomor 14 Tahun 1970 memberikan tempat  kepada PADI  sebagai salah satu peradilan negara dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman. UU No. 1 Tahun 1974 memperbesar kekuasaan PADI, khususnya dibidang perkawinan. Dan UU No.7 Tahun 1989 memperkokoh kedudukan PADI dan memulihkan kembali kekuasaannya yang terenggut selama 52 tahun. Hal itu terjadi oleh karena, di satu pihak kebajikan politik islam memiliki kemampuan untuk mengalokasikan nilai-nilai islam dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan bernegara.
6.      Diundangkan dan diberlakukan UU No 7 Tahun 1989, merupakan peristiwa yang paling penting dalam perkembangan PADI. Hal itu ditandai oleh beberapa perubahan, meliputi: a. Dasar penyelenggaraan PADI yang seragam, b. Kedudukaan PADi yang sejajar dengan peradilan lainnya, c. Kedudukan hakim yang msemakin kokoh, d. Pemulihan kembali kekuasaan PADI, e. Hukum acara yang lebih jelas dan tertulis, f. Admitrasi peradilan lebih propesional, dan g. Perlindungan terhadap kaum wanita.
7.      Salah satu aspek yang terkait dengan perkembangan PADI, ialah dirumuskannya konfilasi hukum islam. Ia merupakan bentuk penyelesaian masalah keragaman hukum sustansial dalam melaksanakan tugas dan wewenang PADI dibidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan dikalangan orang-orang yang beragama islam[2].

c.       Kedudukan Kehakiman Di Pengadilan Agama
1.      Pembagian kekuasaan di indonesia, meliputi kekuasaan menetapkan UUD dan GBHN, kekuasaan pemerintahan, kekuasaan pertimbangan, kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan pemeriksaan keuangan, dan kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang mendekat untuk menyelenggarakan peradilan guna untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselenggaranya negara hukum repoblik indonesia.
2.      Pemnyelenggaraan kekuasaan kehakiman berhubungan erat dengan sistem hukum yang di anut. Di indonesia, dengan sedikit fariasi, menganut sistim cifil law yang megunamakan peraturan per undang- undangan sebagai dasar hukum dalam memutuskan perkara yang di ajukan kepengadilan. Namaun demikian, hukum tidak tertulispun menempati kedudukan yang penting sebagai dasar dalam proses pengembalian keputusan pengadilan. Disamping itu, hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
3.      Kekusaan kehakiman dilakukan oleh makamah agung dan pengadilan dalam lingkungan:
Peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Pada masing-masing lingkungan peraldilan itu terdiri atas pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding. Sedangkan makamah agung adalah pengadilan negara tertinggi dan merupaka pegadilan kasasi bagi seluruh pengadilan dalam semua lingkungan perailan.
4.      Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, adalah peradilan negara yang melakukan kekuasaan kehakiman mengenai perkara perdata tertentu dikalangan golongan rakyat tertentu.perdata itu adalah di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadakah berdasarkan hukum islam dikalangan orang-orang yang beragama islam. Oleh kerena itu, asas-asas peradilan yang diterapkan, selain bersifat umum, dalam hal tertentu memiliki spesipikasi.
5.      Asas-asas umum yang terkandung didalam UU Nomor 7 Tahun 1989 meliputi asas personalitas keislaman, asa kebebasan, asas wajib mendamaikan, asas sederhana, cepat dan biaya ringan, asas persidangan terbuka untuk umum, asas legalistis, dan asas memberi bantuan. Implementasi dan penerapan asas-asas itu, akan sangant tergantung kepada hakim yang menjadi ujujng tombak dalam penegakan hukum dan keadilan.
6.      Pembenaan terhadap peraadilan dalam lingkungan peradilan agama dilakukan olah mahkamah agung dan departemen agama. Pembinaan oleh mahkamah agung terhadap teknis peradilan ( teknis yudisial), yaitu dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan, dan menyelesaikan perkara yang di ajukan kepadanya. Sedangkan pembinaan yang dilakukan oleh departemen agama di bidang organisasi, adminitrasi dan keuangan.
7.      Bimbingan dan pengawasan yang dilakukan oleh mahkamah agung terhadap peradilan dalam lingkungan peradilan agama meliputi jalannya peradilan, pekerjaan peradilan dan tingkah laku hakim, penasehat hukunm dan notaris yang berhubungan dengan peradilan, pemberian peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan. Sedangkan pengawasan yang di lakukan oleh departemen agama terutama dalam kegiatan teknis non yudisial, kegiatan adminitrasi umum terhadap perilaku hakim dalam lingkungan kedinasan, dan perilaku hakim di luar lingkungan kedinasan[3].




[1]Basiq Dhalil, Peradilan Agama Di Indonesia, Cet 1.Kencana, Jakarta, 2006 , hal  137-141
[2] Cik Hasan Basri, Peradilan Agama Di Indonesia, Pt Grafindo Persada, Jakarta, 2003, Hal 134
[3]Ibid..  hal 178

Jumat, 11 Oktober 2013

DOA MENGHILANGKAN PERASAAN GALAU


اللَّهُمَّ إِنِّي عَبْدُكَ وَابْنُ عَبْدِكَ وَابْنُ أَمَتِكَ نَاصِيَتِي بِيَدِكَ مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ أَوْ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ أَنْ تَجْعَلَ ال...ْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي وَجِلَاءَ حُزْنِي وَذَهَابَ هَمِّي


Allaahumma innii 'abduka wabnu 'abdika wabnu amatik, naashiyatii biyadik, maadlin fiyya hukmuk, 'adlun fiyya qadlaa'uk, as-aluka bikullismin huwa laka, sammaita bihi nafsaka, au anzaltahuu fii kitaabika, au 'allamtahu ahadan min khalqika, awis ta'tsarta bihii fii 'ilmil ghaibi 'indaka, an taj'alal Qur'aana rabii'a qalbii wanuura shadrii wajalaa'a huzni wa dzahaaba hammii


Artinya: "Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, anak hamba laki-laki-Mu, dan anak hamba perempuan-Mu. Ubun-ubunku berada di tangan-Mu. Hukum-Mu berlaku pada diriku. Ketetapan-Mu adil atas diriku. Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau Engkau turunkan dalam Kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu, agar Engkau jadikan Al-Qur'an sebagai penyejuk hatiku, cahaya bagi dadaku dan pelipur kesedihanku serta pelenyap bagi kegelisahanku."


Doa di atas didasarkan pada hadits dari Abdullah bin Mas'ud radliyallah 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tidaklah seseorang tertimpa kegundahan dan kesedihan lalu berdoa (dengan doa di atas) . . . melainkan Allah akan menghilangkan kesedihan dan kegelisahannya serta menggantikannya dengan kegembiraan.


Ibnu Mas'ud berkata, "Ada yang bertanya, 'Ya Rasulallah, bolehkah kita mempelajarinya?' Beliau menjawab, 'Ya, sudah sepatutnya orang yang mendengarnya untuk mempelajarinya'." (HR. Ahmad dalam Musnadnya I/391, 452, Al-Hakim dalam Mustadraknya I/509, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya VII/47, Ibnu Hibban dalam Shahihnya no. 2372, Al-Thabrani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir no. 10198 –dari Maktabah Syamilah-. Hadits ini telah dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qayyim, keduanya banyak menyebutkannya dalam kitab-kitab mereka. Juga dihasankan oleh Al-Hafidz dalam Takhriij Al-Adzkaar dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam al-Kalim al Thayyib hal. 119 no. 124 dan Silsilah Shahihah no. 199.)