a.
Wewenang Relatif Dan Absolut
Kata” kekuasaan”
sering disebut “ kompetensi” yang berasal dari bahasa belanda “Competentie”,
yang kadang-kadang diterjemahkan dengan” Kewenangan” dan terkadang “kekuasaan”.
Kekuasaan atau
kewenangan peradilan kaitanya adalah dengan hokum acara, menyangkut hal,yaitu: “ kekuasaan relative” dan
“{kekuasaan absolute”.
Kekuasaan
relative di artikan sebagai kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu
singkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan peradilan yang sama jenis dan
sama tingkatan. Misalnya, antara peradilan negeri bogor dengan peradilan negeri
subang penngadilan agama muara enim dan pengadilan agama batu raja.
Pengadilan negeri
bogor dan subang sama-sama lingkungan peradilan umum dan sama-sama peradilan
tingkat pertama, sedangkan peradilan agama muara enim dan peradilan agama batu
bara jenis yang sama-sama lingkungan peradilan agama dan satu tingkatan,
sama-sama tingkat pertama.
Pasal 4 ayat 1 UU
No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama berbunyi :
“peradilan agama berkedudukan di kota madya atau di ibu kota
kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kota madya atau kabupaten”. Pada
penjelasan pasal 4 ayat 1 berbunyi : “ pada dasrnya tempat kedudukan peradilan
agama ada di kodya atau kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kota
madya atau kabupaten tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.
Tiap pengadilan
agama mempunyai wilayah hokum tertentu, dalam hal ini meliputi satu kota madya
atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengucualian, mungkin
lebih atau kurang, seperti kabupaten riau kepulauan terdapat empat buah
peradilan agama, karna kondisi transportasi sulit.
Guna mengetahui
yurisdiksi relative agar para pihak tidak salah mengajukan gugatan atau
permohonan yakni kepengadilan agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan
juga berhubungan dengan hah eksipsi terduga. Menurut teori umum hokum ajaran
perdata peradilan umum(tentang tempat mengajukan gugatan), apabila penggugat
mengajukan gugatannya kepengadilan negeri mana saja, diperbolehkan dan
peradilan tersebut masing-masing boleh memriksa dan mengadili perkaranya
sepanjang tidak ada asepsi(keberatan) dari pihak lawannya. Juga boleh saja
orang (penggugat dan terdugat memilih untuk beperkara di muka pengadilan mana
saja yang mereka sepakati). Hal ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegasnya
dimyatakan lain. Pengadilan negeri dalam hal ini boleh menerima pendaftaran
perkara tersebut disamping boleh menolaknya. Namun dalam praktik, pengadilan negeri sedak
semula sudah tidak berkenan menerima gugatan atau permohonan semacam itu, sekaligus
memberikan saran kepengadilan negeri mana seharusnya gugatan atau permohonan
itu di ajukan.
Ketentuan
umum peradilan umum tersebut berlaku juga untuk peradilan agama sebagaimana
ditunjuk oleh UU No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dimasa lalu sebelum
peradilan agama mempunyai kekuasaan absolut yang seragam di seluruh indonesia
(sebelum UU No.7 Tahun 1989) peradilan agama tidak dapat menerima ketentuan
umum peradilan umum di atas, sebab suatu jenis perkara misalnya menjadi
kekuasaan absolut peradilan agama di pulau sumatra belum tentu menjadi
kekuasaan absolut pada peradilan agama di pulau jawa, seperti mengenai
kewarisan.
Mengenai
kekuasaan absolut, yakni kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis
perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaannya
dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya,
sebagai contoh :
Pengadilan
agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama islam,
sedangkan selain yang selain islam menjadi kekuasaan peradilan umum. Pengadilan
agama lah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama,
tidak langsung beperkara kepengadilan tinggi agama atau di mahkamah agung.
Jenis
perkara yang menjadi kekuasaan peradilan agama ; pertama, tentang teperkawinan
; kedua, tentang warisan, wasiat dan hibbah; ketiga, tentang perkara waqaf dan
sedekah.
Pasal 49
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memetus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara
orang-orang beragama islam di bidang :
a.
Perkawinan
b.
Kewarisan
c.
Wasiat
d.
Hibbah
e.
Waqaf
f.
Zakat
g.
Infaq
h.
H sedekah ; dan
i.
Ekonomi syariah[1].
b.
Sejarah peradilan agama
1. Ulama dan pejabat agama, dua tipe pemimpin islam memainkan peranan yang
singkat penting dalam proses islamisasi di indonesia. Mereka mengaktualisasika
kepemimpinannya melalui pranata
pendidikan dan pranata politiik. Ketika islam menajdi kekuatan politik, yang di
tandai dengan pembunuhan dan perkembangan kesultanan islam yang memeintah,
tetapi suatu hubungan simbiotik ulama-umara. Dan pejabat agama yang menjadi
subordinasi dari pusat kekuasaan islam, merupakanpeletak dasar pertumbuhan dan
perkembangan PADI.
2. Pada masa kesulatanan islam, PADI tumbuh dan berkembang denagn corak yang
beraneka ragam. Keanekaragaman itu meliputi posisinya dakam pusat kekuasaan,
struktur dan cakupan kekuasaannya, dan sunber pengambilan hukum dan memutuskan
perkara yang di ajukan kepadanya. Umumnya, cakupan kekuasaannya dalam bidang
keperdataan, khususnya perkara perkawinan dan kewarisan. Sedangkan sumber
pengambilan hukumny dari kitab-kitab fiqh terutama dari mazhab syafi’i.
3. Perkemabangan PADI pada masa penjajahan belanda menagalami pasang surut.
Hal itu sebagai akibat islam politiek dan politik hukum adat
(adat-recbtspolitiek) yang di terapakan oleh pemerintah kolonial. Keputusan
politik kolonial itu merupakan pemihakan dalam mengahdapi komflik antara elit
adat denagn elit islam, yang berlanjut denagn masa pendudukan jepang. Ketika di
lakukan reorganisasi badan peradilan di jawa dan madura pada tahun 1937,
terjadi pembatasan pengadilan agama.
4. Pada masa pendudukan tentara jepang, PADI tidak mengalami perkembangan yang
cukup bearti. Namun demikian, pemerintah meliter ,emberi peluang yang sangat
besar terhadap golongan islam yang mengalokasikan nilai-nilai islam di dalam
kehidupan bernegara. Hal itu terakomodasi pada suatu rumusan yang dikenal
dengan piagam jakatrta. Usaha yang memulihkan kembali kekuasaan pengadilan
agamapun memperoleh kesempatan yang sangat besar, namun hasilnya adalah status
Quo.
5. Perkembangan PADI masa kemerdekaan, khususnya pada masa orde baru, sangat
bearti ketika diundangkan dan diberlakukan UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1
Tahun 1974, dan mencapai puncaknya ketika UU No.7 Tahun1989 diundangkan dan
diberlakukan. UU Nomor 14 Tahun 1970 memberikan tempat kepada PADI
sebagai salah satu peradilan negara dalam melaksanakan kekuasaan
kehakiman. UU No. 1 Tahun 1974 memperbesar kekuasaan PADI, khususnya dibidang
perkawinan. Dan UU No.7 Tahun 1989 memperkokoh kedudukan PADI dan memulihkan
kembali kekuasaannya yang terenggut selama 52 tahun. Hal itu terjadi oleh
karena, di satu pihak kebajikan politik islam memiliki kemampuan untuk
mengalokasikan nilai-nilai islam dalam kehidupan bermasyarakat,berbangsa dan
bernegara.
6. Diundangkan dan diberlakukan UU No 7 Tahun 1989, merupakan peristiwa yang
paling penting dalam perkembangan PADI. Hal itu ditandai oleh beberapa
perubahan, meliputi: a. Dasar penyelenggaraan PADI yang seragam, b. Kedudukaan
PADi yang sejajar dengan peradilan lainnya, c. Kedudukan hakim yang msemakin
kokoh, d. Pemulihan kembali kekuasaan PADI, e. Hukum acara yang lebih jelas dan
tertulis, f. Admitrasi peradilan lebih propesional, dan g. Perlindungan
terhadap kaum wanita.
7. Salah satu aspek yang terkait dengan perkembangan PADI, ialah dirumuskannya
konfilasi hukum islam. Ia merupakan bentuk penyelesaian masalah keragaman hukum
sustansial dalam melaksanakan tugas dan wewenang PADI dibidang perkawinan,
kewarisan, dan perwakafan dikalangan orang-orang yang beragama islam[2].
c.
Kedudukan Kehakiman Di Pengadilan Agama
1. Pembagian kekuasaan di indonesia, meliputi kekuasaan menetapkan UUD dan
GBHN, kekuasaan pemerintahan, kekuasaan pertimbangan, kekuasaan
perundang-undangan, kekuasaan pemeriksaan keuangan, dan kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang mendekat untuk
menyelenggarakan peradilan guna untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila, demi terselenggaranya negara hukum repoblik indonesia.
2. Pemnyelenggaraan kekuasaan kehakiman berhubungan erat dengan sistem hukum
yang di anut. Di indonesia, dengan sedikit fariasi, menganut sistim cifil
law yang megunamakan peraturan per undang- undangan sebagai dasar hukum
dalam memutuskan perkara yang di ajukan kepengadilan. Namaun demikian, hukum
tidak tertulispun menempati kedudukan yang penting sebagai dasar dalam proses
pengembalian keputusan pengadilan. Disamping itu, hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat.
3. Kekusaan kehakiman dilakukan oleh makamah agung dan pengadilan dalam
lingkungan:
Peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara. Pada masing-masing lingkungan
peraldilan itu terdiri atas pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat
banding. Sedangkan makamah agung adalah pengadilan negara tertinggi dan
merupaka pegadilan kasasi bagi seluruh pengadilan dalam semua lingkungan
perailan.
4. Pengadilan dalam lingkungan peradilan agama, adalah peradilan negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman mengenai perkara perdata tertentu dikalangan
golongan rakyat tertentu.perdata itu adalah di bidang perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf, dan shadakah berdasarkan hukum islam dikalangan
orang-orang yang beragama islam. Oleh kerena itu, asas-asas peradilan yang
diterapkan, selain bersifat umum, dalam hal tertentu memiliki spesipikasi.
5. Asas-asas umum yang terkandung didalam UU Nomor 7 Tahun 1989 meliputi asas
personalitas keislaman, asa kebebasan, asas wajib mendamaikan, asas sederhana,
cepat dan biaya ringan, asas persidangan terbuka untuk umum, asas legalistis,
dan asas memberi bantuan. Implementasi dan penerapan asas-asas itu, akan
sangant tergantung kepada hakim yang menjadi ujujng tombak dalam penegakan
hukum dan keadilan.
6. Pembenaan terhadap peraadilan dalam lingkungan peradilan agama dilakukan
olah mahkamah agung dan departemen agama. Pembinaan oleh mahkamah agung
terhadap teknis peradilan ( teknis yudisial), yaitu dalam menerima, memeriksa, mengadili,
memutuskan, dan menyelesaikan perkara yang di ajukan kepadanya. Sedangkan
pembinaan yang dilakukan oleh departemen agama di bidang organisasi,
adminitrasi dan keuangan.
7. Bimbingan dan pengawasan yang dilakukan oleh mahkamah agung terhadap
peradilan dalam lingkungan peradilan agama meliputi jalannya peradilan,
pekerjaan peradilan dan tingkah laku hakim, penasehat hukunm dan notaris yang
berhubungan dengan peradilan, pemberian peringatan, teguran dan petunjuk yang
diperlukan. Sedangkan pengawasan yang di lakukan oleh departemen agama terutama
dalam kegiatan teknis non yudisial, kegiatan adminitrasi umum terhadap perilaku
hakim dalam lingkungan kedinasan, dan perilaku hakim di luar lingkungan
kedinasan[3].